Izinkanlah Aku Memakan Hatinya

Oleh: Nurul Arifah

Diy, ini sulit. Bagaimana jika kedua kakimu masih ada namun kedua kaki itu tidak dapat digunakan lagi? Apakah seperti ini rasanya? Dapatkah kau merasakan apa yang kurasakan? Ketika semua pengharapan hancur bersamaan tiada tersisa. Benar, aku masih bisa bernafas, namun yang kurasakan hanyalah hampa. Hidup tiada makna ketika yang kulakukan semua sia-sia. Orang-orang yang kusayangi telah tiada. Lalu untuk apa semua ini? Diy, begitu sulit rasanya ketika kau memiliki semua hal namun kau sendiri merasa kosong tiada arah. Hidupku seperti mayat hidup, berjalan tanpa nyawa.

Lamunanku terputus oleh suara pintu yang diketuk dari luar. “Masuk”, kataku singkat sambil berdiri merapikan jasku. “Tuan, semua sudah menanti anda. Podium sudah kami siapkan.” Aku mengangguk tanda mengerti. Segera ia menutup pintu kembali dan meninggalkanku seorang diri diruangan hening ini. Aku membetulkan letak dasiku lalu menyeduh minuman itu untuk yang terakhir kalinya. Kuraih map bahan presentasiku lalu berjalan meninggalkan ruangan. Di sepanjang lorong menuju ruangan konferensi pers, aku dikerumuni banyak wartawan dan mahasiswa. Aku berjalan diiringi dengan lima pengawal sehingga masih memiliki ruang untuk berjalan dengan leluasa. Berbondong-bondong pertanyaan dilontarkan kepadaku namun tak satupun yang kutanggapi. ”Nanti saya akan membahasnya di forum”, jawabku singkat.

Ketika aku mendorong pintu itu, seketika banyak kamera yang menyorot dan memotret kearahku. Dengan langkah sigap aku menuju podium dan mengeluarkan sekumpulan kertas yang sedari tadi aku sisipkan rapi didalam map. Seisi ruangan tampak hening mendengarkan ketika aku mendekatkan bibirku kearah mikrofon.

Entah bagaimana kisahnya hingga aku bisa sampai di titik ini. Semua tampak begitu cepat. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan bergilir musim. Musim bergilir tahun, dan seterusnya. Tak terasa usiaku sudah menginjak empat puluh lima tahun. Hai. Perkenalkan, namaku Czarin. Aku hidup seorang diri. Ya, benar, seorang diri. Kau tidak sedang salah baca. Aku kehilangan keluargaku sejak aku masih berusia delapan tahun. Bagaimana aku bisa selamat? Waktu aku dan adikku bermain diluar, orang-orang itu berbondong-bondong menyerbu rumahku. Entah apa yang terjadi, aku dan adikku terus berlari dan berhasil meloloskan diri dengan menyelam di danau yang didalamnya dipenuhi dengan alang-alang hijau. Tetapi mereka tidak berhenti disitu. Mereka terus menembaki kita didalam air dan berharap kita mati. Aku dan saudaraku berenang terus lebih dalam berharap peluru itu tidak dapat menembus volume air. Beberapa peluru nyaris me...

Baca selengkapnya →