"Siapa di dalam?" seruan suara lelaki terdengar berbarengan dengan ketukan di pintu.
"Wulan, Mas Boy!" sahut gadis kuning langsat berparas manis yang sedang berdiri di depan wastafel seraya buru-buru merapatkan tali kimono mandinya, sebelum menuang sabun cair pembersih wajah ke telapak tangannya.
"Kamu sama siapa? Pintunya dikunci? Jangan lama-lama, ini sudah malam!" Suara yang dibuat-buat agar terdengar garang itu justru terasa aneh dan lucu di telinga Wulan.
"Gak dikunci kok, cuma diganjal aja. Aku masih bersihin muka," jawab Wulan malas tanpa mengalihkan pandangan. Matanya masih menyisakan kantuk karena tadi ia sempat ketiduran sepulang kerja sebelum dibangunkan untuk membersihkan diri.
Ia seolah tak perduli saat pintu berderit terbuka dan kepala lelaki yang ia sapa Mas Boy itu melongok mengawasinya lalu berseloroh, "jangan bercermin terlalu lama! Awas, nanti luntur cantikmu!"
Wulan hanya menjawab dengan tawa hambar selorohan mulut lemes Mas Boy. Ia bahkan tak mau repot-repot menoleh untuk memandang lawan bicaranya. Ia tak perduli pada apa yang lelaki itu lakukan kemudian.
Wulan menatap lurus ke depan, ke arah cermin antik yang tergantung di dinding tepat di atas wastafel. Bayangan wajah pucat dengan pandangan sendu itupun menatap balik ke arahnya. Wajah itu terlihat begitu galau. Aura gelap menyelimuti wajah manisnya.
Cermin tua oval dengan bingkai kayu berukir itu, meskipun warnanya sudah kekuningan, tetapi masih terlihat jernih karena selalu dibersihkan oleh Mas Boy -- pemilik gedung yang di sewa perusahaan tempat Wulan bekerja dan dijadikan mess karyawati kantor-- seorang lelaki berusia awal tiga puluhan yang selalu berbicara dengan suara halus dan sopan, kadang malah terkesan kemayu. Semua tahu bahwa Mas Boy memang agak-agak melambai.
Wulan mengangkat jemarinya untuk menyentuh bayangan gelap di sekitar bawah matanya yang terlihat agak bengkak sehabis menan...