Rintik hujan menyelimuti jalanan Jakarta yang lengang. Udara dingin merembes melalui celah kaca jendela taksi, membawa aroma aspal basah dan debu yang terangkat. Handi merapatkan jaketnya sambil melirik arloji di dashboard. Hampir pukul dua dini hari. Biasanya, jam-jam ini hanya dipenuhi perjalanan sepi menuju bandara atau tamu mabuk dari klub malam.
Lampu jalan yang kuning redup memantul di trotoar yang licin, ketika sosok di pinggir jalan melambaikan tangan. Pria itu berdiri kaku, mengenakan jas hitam yang tampak usang, seperti baru saja diambil dari lemari yang lama tak dibuka. Handi menghentikan mobil tepat di hadapannya.
"Pondok Melati, bisa?" suara itu berat, tetapi terdengar serak, seperti berbalut lapisan debu.
Handi mengangguk sambil membuka pintu belakang. Pria itu masuk dengan gerakan perlahan, membawa serta hawa dingin yang tiba-tiba menusuk. Mobil bergetar sedikit saat ia duduk, seolah beban penumpang itu lebih berat dari biasanya.
"Alamat spesifiknya, Pak?" tanya Handi, melirik ke kaca spion. Tatapannya bertemu dengan mata pria itu yang hitam pekat. Dingin menyergapnya, tapi ia segera berpaling, mencoba mengabaikan rasa tak nyaman yang menjalar.
"Jalan Mawar, makam tua di ujungnya," jawab pria itu, suaranya pelan tetapi tegas.
Handi meraih GPS dan mengetikkan ala...