Sepulang dari pekerjaannya sebagai pengemis pura-pura berkaki satu, Parjo berdiri dengan dua kakinya yang masih utuh, biasa menyempatkan diri memandangi Toko Emas Pak Johan dari kejauhan. Parjo ingin memiliki sebatang emas walaupun karatnya sedikit, yang penting ia punya emas untuk dipamerkan ketika lebaran pulang kampung. Tapi uang hasil mengemisnya belum cukup dan selalu habis untuk makan serta biaya hidupnya. Parjo juga sering mengeluhkan orang-orang zaman sekarang selektif memberikan uang kepada pengemis semenjak berita terungkapnya pengemis yang punya banyak uang dan perhiasaan di televisi. Parjo dan teman-teman seprofesinya terkena imbasnya. Penghasilan mereka pun merosot drastis.
Di sebuah rumah di samping toko emas, Pak Johan sang pemilik toko emas bertengkar hebat dengan anak satu-satunya, Tanto. Karena Tanto tak mau mengelola toko emas tapi ingin harta warisannya padahal ia masih hidup. Tanto pun jarang di rumah, menginap di hotel menghamburkan uang ayahnya dan memakainya untuk membahagiakan sang pacar, Kania. Diam-diam, Tanto punya keinginan membunuh sang ayah untuk dapat harta warisannya lebih cepat.
Di kamar pembantu rumah Pak Johan, Mardi sang sopir pribadi sedang kesal. Ia selalu kena damprat dan marah tak jelas dari Pak Johan ataupun Tanto, anak majikannya. Gajinya pun tak pernah dibayar penuh. Untuk kasbon saja, tak boleh. Beruntung Mardi punya teman karib sekampung yang dulu sama-sama mengadu nasib ke kota besar bernama Dandi tapi beda nasib. Mardi kerja jadi sopir, sedangkan Dandi hanya jadi seorang mantan napi. Bersama Dandi, Mardi bersenang-senang ketika ia sedang libur kerja. Walaupun begitu, Mardi tetap tak bisa melupakan perlakuan Pak Johan dan Tanto yang dianggapnya sudah kelewat batas. Suatu hari ia akan membalasnya.
Tahu Mardi ada masalah dengan Pak Johan,...