Bulat matanya sama dengan mataku. Rambut hitam sepundak kami sama lebatnya. Hidung mancungnya pun aku miliki. Begitu juga lekuk bibir kami yang selalu membentuk senyuman. Sepuluh tahun berpisah, aku kira aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Tapi, di sinilah dia. Berhadap-hadapan dengan pandangan yang sejajar terhadapku.
“Karmini?” tanyaku. Bukan karena tidak yakin dia adalah kembaranku, melainkan tidak percaya adikku itu muncul di pintu ruma...