Keajaiban Dokter Risna

Oleh: Syaa Ja

Ini adalah sedikit dari sangat banyak cerita selama saya bekerja di salah satu kabupaten di Pulau Jawa. Saya bekerja di salah satu rumah sakit swasta yang berbasis pengobatan herbal atau pengobatan komplementer. Namun, meskipun begitu, tempat saya bekerja juga masih menggunakan obat kimia untuk kasus emergensi.

Saya mulai bekerja sekitar bulan Mei 2006. Pemilik rumah sakit adalah sepasang suami istri yang keduanya adalah dokter. Dua-duanya juga masih terlibat menangani pasien. Namun, Bos laki-laki hanya aktif tiga sampai empat hari dalam seminggu. Jadi hanya berfungsi sebagai konsulen bagi kami para dokter umum. Selebihnya beliau memegang operasional rumah sakit.

Selama beberapa tahun sejak mulai bekerja, saya adalah dokter paling muda. Paling muda dari segi usia dan tentu saja dari segi pengalaman. Total ada empat dokter umum yang menjalankan rumah sakit, termasuk saya. Pengobatan komplementer bukanlah sesuatu yang saya pelajari selama berkuliah. Oleh karena itu, saya mengikuti Bos laki-laki saya selama beliau berpraktik agar bisa dibimbing langsung.

Saya akan bercerita tentang keajaiban Bos perempuan. Sebenarnya dalam beberapa aspek, beliau adalah orang yang baik. Misalnya saat saya dengan tulus memuji kerudung yang beliau kenakan, beberapa hari kemudian akan ada hadiah yang dititipkan untuk saya. Namun, sebagai rekan sejawat, beliau bisa masuk kategori ujian hidup.

Sebenarnya ada banyak sekali cerita tentang beliau. Bisa jadi satu buku malah. Semua anak perawat dan para dokter bahkan suaminya sendiri juga sudah khatam sama perilakunya. Beliau juga salah satu alasan saya akhirnya mengundurkan diri setelah bekerja sebelas tahun. Sayang sebenarnya karena saya menyukai konsep pengobatannya. Namun, kondisi sudah tidak bersahabat.

Dahulu, beliau hanya merepotkan, egois, sering kabur saat sedang dinas, seenaknya menitipkan pasien kepada saya yang sedang libur, dan masih banyak lagi. Namun, di akhir-akhir masa kerja saya, beliau sudah ada di tahap menyalahkan saya padahal yang saya lakukan sudah benar. Yang lebih apesnya, rekan kerja saya yang jelas-jelas melakukan kesalahan malah dibela.

Saat mencoba melihat ke belakang, saya merasa beliau mulai tidak suka sejak insiden Dufan di tahun 2007. Kurang lebih satu tahun setelah saya bekerja. Sebagai dokter junior dan masih dalam pelatihan tentang pengobatan komplementer, saya jarang sekali berlibur. Padahal Ibu Kota Jakarta bisa ditempuh hanya dalam waktu dua setengah jam.

Jadi, bersama beberapa perawat dan karyawan rumah sakit yang dekat dengan saya, saya berencana ke Dufan untuk merayakan ulang tahun saya di bulan Juni. Setelah menyesuaikan jadwal libur, akhirnya kami memutuskan akan ke Dufan di tanggal 9 Juni 2007. Itu satu hari sebelum ulang tahun saya.

 “Kak, rencana ke Dufan aman, kan?” Vika, staf IT, bertanya kepada saya.

“Aman dong. Aku sudah pinjam mobil ke Babe. Sudah minta tidak jaga malam ...

Baca selengkapnya →