Sebuah cerpen panjang (10 ribu kata). Bercerita tentang seorang pewaris kedai bakmi legendaris yang tengah gundah. Ia dituntut untuk menemukan kembali resep kecap pusaka yang lama menghilang. Sampai cinta kemudian datang membantunya menemukan resep tersebut.
---------------------------------------------
Matahari telah lewat di atas kepala ketika Ulani tiba di satu alamat. Tersaji di hadapannya sebuah bangunan kuno dua lantai yang menyerupai ruko. Walau tertampak lawas, namun kondisi bangunan itu masih terawat baik. Sejenak ia lalu tertegun. Memandang plang nama terpampang yang bertulis, BAKMI HARAPAN.
Terngiang Ulani akan cerita masa lalu Ayah. Tentang sebuah kedai bakmi yang laris sekali. Siapa pun yang pernah mencicipi bakmi di sana bakal cepat berkesimpulan, tiada pernah ditemukan kelezatan selain kelezatan pada Bakmi Harapan. Di zamannya Bakmi Harapan tak hanya kondang, namun juga ikon kota kelahiran Ayah. Dan sekarang kedai bakmi bersejarah itu telah tertampak di hadapannya.
Lengang. Demikian yang didapat Ulani manakala memasuki kedai. Tak seorang pun pembeli hadir di dalam. Deretan meja makan yang ada terlalu bersih untuk sebuah kedai laris. Pun dengan kursi-kursi kosong yang sangat rapi dipandang. Udara pengap di dalam kedai langsung menyambut Ulani. Mungkin akibat tiga kipas angin yang menempel di plafon atas enggan berputar.
Seorang perempuan berperawakan jangkung terlihat Ulani di sudut ruangan. Perempuan yang mengenakan kerudung itu tengah asyik membaca majalah. Ia duduk di samping sebuah gerobak kaca tanpa roda. Dua buah kompor tersedia di belakang gerobak kaca. Demikian pula dengan perabotan memasak yang tampak menggantung di dinding. Kelihatannya ruang tempat perempuan berkerudung itu duduk adalah dapur kedai ini.
“Ibu yang ayu,” gumam Ulani, memuji paras perempuan berkerudung itu. Memang masih menampakkan kecantikan. Meski dari segi usia, barangkali sudah seangkatan dengan mendiang ibunya. Tak hanya cantik, perempuan berkerudung itu sepertinya blasteran Eropa. Kulit putih, hidung lancip, serta bola mata biru miliknya menjadi pembeda dengan perempuan lokal.
“Mau beli mi?” sapa perempuan berkerudung itu ramah. Ia barusan beranjak dari tempat duduknya. Nada suaranya terdengar lembut. Selembut sinar matanya yang sayu.
“Saya pesan bakmi tiga porsi!”
“Bakmi kuah, atau bakmi goreng?”
“Bakmi goreng, tapi minta dibungkus saja!”
Perempuan berkerudung itu tidak lagi bertanya. Ia memilih menyalakan kompor. Lalu menaruh wajan besar di atas kompor. Melumurinya dengan minyak goreng dalam botol kemasan. Sigap tangannya meraup bumbu-bumbu. Lalu menumisnya bersama telur ayam. Tak lupa ia tambahkan pula pakcoy, jamur kancing, serta udang kecil. Wangi bumbu yang ditumis seketika menyeruak dari dalam wajan.
Sambil menunggu bahan-bahan yang ditumisnya masak, perempuan berkerudung itu meraup tumpukan mi yang masih menggunung di dalam gerobak kaca. Jemarinya licah dalam menggulung-gulung mi. Tak lama kemudian tiga gulungan mi yang sama besar telah terbentuk.
Selanjutnya perempuan berkerudung itu mengambil pisau. Lalu memotong bagian dada ayam rebus yang tergantung di dalam gerobak kaca. Setelah itu ia suwir-suwir potongan dada ayam menggunakan garpu. Begitu cepat tangannya bekerja. Tahu-tahu suwiran daging ayam telah menumpuk. Bersama tiga gulungan mi ia lantas memasukkan suwiran daging ayam ke dalam wajan besar.
“Di rumah saya juga memakai kecap yang sama,” spontan Ulani berkata. Ia melihat perempuan berkerudung itu mengambil satu botol kecap.
Perempuan berkerudung itu tak menanggapi Ulani. Ia cukup menoleh sembari melempar senyum pada Ulani. Kelihatannya ia bukan tipikal perempuan doyan mengobrol saat bekerja.
Cukup belasan menit bagi perempuan berkerudung itu untuk mematikan kompor. Mengangkat wajan. Lalu menuangkan bakmi goreng pesanan Ulani ke dalam tiga lembar kertas nasi. Pada setiap lembar kertas nasi masing-masing terdapat selembar daun pisang, yang telah dilumuri semacam minyak sayur. Karena meja kecil tempat menaruh kertas nasi berdekatan sekali dengan Ulani, kepulan asap pembawa aroma bakmi lantas mengusik rasa penasarannya. Refleks telunjuk kanan Ulani mencolek bakmi pesanannya.
Biasa-biasa saja. Penilaian Ulani saat lidahnya menjilat telunjuknya.
Ya, Ulani merasa tak ada yang istimewa d...