Entah makian ke berapa yang kudengar dari mulut orang tuaku yang ditujukan kepadaku. Permohonan untuk berhenti pun tak didengar. Aku hanya bisa memucat dan menahan sakit atas perkataan mereka. Aku membeku, menggenggam nyeri yang tak kasat mata, sementara hujan makian terus mengguyur tanpa jeda. Setiap kata mereka adalah peluru; setiap kalimat, ledakan yang mengguncang jiwaku. Aku, seperti bangkai yang mereka rawat hanya untuk dibuang kembali ke ...