Kontraktor

Oleh: Fitri F. Layla

Begitu melihat pantulan diriku di kaca jendela, kurasa peluhku meneriakkan kata ‘lelah’ lebih lantang dibanding suaraku. Kotak terakhir yang kuangkut setengah kubanting ke lantai hingga mengeluarkan bunyi debam yang cukup keras. Satu hal yang kulanggar dari pantangan seorang penderita asam lambung. Berletih-letih, jungkir balik jumpalitan demi pindah rumah untuk yang kedua belas kali sambil angkat beban perabotan yang tak habis-habis. Bayangkan saja sesak dan pusingnya seperti apa. Aturan makan tepat waktu tidak bisa diindahkan pencernaan kala otak mengirim sinyal letih ke seluruh tubuh. Intinya, tetap saja penyakitku kambuh.

“Abah, aku capek angkat-angkat terus. Masih berapa banyak barang-barang yang harus dimasukkan, sih?” seruku ngos-ngosan.

“Duduk sini duduk. Ini air putih. Istirahat dulu nanti bantu-bantu lagi, ya.”

“ABAAH!!!” Abah dan Ibu cekikikan sambil bersamaan mengangkut kardus yang ke … entahlah. 

“Santai, Mbak. Berakit-rakit ke hulu ….”

“Kulempar kamu pake rakit,” sahutku sewot saat Ridho, adik laki-lakiku lewat sembari menyeret keranjang yang dimuati panci-panci. Ia ikut cengar-cengir melihat raut jengkel yang kupasang sejak kardus ke lima belas kuturunkan.

*** 

Orang-orang memanggil Abahku dengan nama Pak Kaman. Nama julukannya adalah Kaman Kontraktor. Sesuai dengan julukannya, Abah bilang kalau keluarga kami adalah keluarga kontraktor...

Baca selengkapnya →