Tatar Sunda, pertengahan abad 20
Di suatu desa bernama Pusaka Nagara, telah terjadi suatu insiden yang sangat menggemparkan seluruh warga: Kujang Pusaka yang terbuat dari emas murni dan memiliki sembilan mata permata telah dicuri, tepat sebelum upacara adat merlawu[1] sekaligus ulang tahun desa. Biasanya, Kujang itu akan diarak mengelilingi desa, lalu dimandikan dengan kembang tujuh rupa dan dari tujuh sumber mata air berstatus cikahuripan[2]. Karena kesakralannya itulah, warga desa Pusaka Nagara panik bukan kepalang. Kini, mereka sibuk mencari si pencuri sambil mengucapkan sumpah serapah dan mendoakan celaka bagi orang yang telah lancang mencuri benda paling berharga di desa itu.
“Aduh, gimana ini, Pak Adang, saya mah kalau suruh ganti si Pusaka, saya ga akan sanggup. Saya merasa bersalah pisan. Bisa-bisanya, si pusaka hilang saat saya lagi jaga di balai. Saya takut, bisi aya gantar kakaitan[3].”
“Iya, pasti. Tapi, Mang, tenangkan dulu hatinya. Kita tidak menuduh Mang Ikin, kok. Dan, tidak akan memaksa Mang Ikin untuk ganti rugi. Seluruh warga juga tengah mencari Pusaka yang hilang itu bersama-sama. Semoga saja, bisa ketemu pencurinya dan Pusaka kita bisa kembali lagi. Sudah Mang Ikin tenang saja.”
“Tapi, Pak, meski saya ini orang bodoh, saya tahu betapa bernilainya Kujang Pusaka itu, yang terbuat dari emas...