Lorong di Atap

Oleh: Johanes Gurning

Rembulan menggaung di balik awan yang hitam. Sinarnya yang redup seolah menjadi penguntit yang memiliki maksud lain di balik malam. Aku persis seperti awan hitam itu, menyusuri jalan yang baru kukenal ini dan berharap bisa melupakan semua yang telah terjadi. Satu lagi, rembulan itu persis seperti diriku yang meraba nasib dan tampak tidak yakin dengan apa yang sebentar lagi kujalani.

Terdengar klise? Aku sungguh tidak peduli.

Ditendang jauh dari peradaban modern; terlibat dalam permainan perasaan yang rumit; serta menghadapi kenyataan jika Diska tidak sama lagi seperti dahulu. Untuk alasan yang pertama, mungkin masih bisa kuatasi. Soalnya uang tabungan yang kupunya--setelah menjalani hidup super hemat yang begitu ketat--masih bisa kugunakan untuk bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan. Yang menjadi masalah paling dilematik adalah dua alasan lain yang muncul secara bersamaan.

Kupikir, tidak ada manusia di bumi ini yang bisa lepas dari jerat yang menyangkut perasaan...

Baca selengkapnya →