Zaman Sengoku itu berwarna kelabu warna senja yang seakan tidak pernah selesai. Bayangan perang merambat seperti kabut, melingkupi setiap sudut desa, menggantikan suara anak-anak yang riang dengan gema langkah-langkah berat para samurai yang pulang membawa pedang berdarah. Asap mengepul dari atap-atap jerami, bukan dari dapur yang memasak, tapi dari rumah-rumah yang dibakar oleh kebencian. Aroma hangus itu bercampur dengan bau lumpur, tanah basah, dan besi. Jepang pada masa itu seperti kuali besar, di mana api peperangan membara tanpa pernah benar-benar padam.
Di tengah kekacauan itu, ada sebuah rumah di tepi sebuah sungai kecil yang damai, terletak di bawah pohon sakura yang sudah mulai meranggas. Rumah itu milik keluarga Nion, keluarga samurai yang terpandang. Di dalam rumah itu, Nion duduk di dekat jendela yang terbuka, membiarkan angin malam berhembus dan membawa serpihan kelopak bunga sakura yang jatuh, berputar-putar di udara seperti tari-tarian yang perlahan menepi. Di luar, bayangan bulan redup menimpa permukaan sungai, mengalir pelan seperti pikirannya penuh kebimbangan.
“Kau akan segera dewasa, Nion,” kata ayahnya dengan suara berat yang dalam. Lelaki itu duduk di seberang ruangan, tatapannya tajam meski kini ia hanya menatap pedang katana yang tergantung di dinding. Katana itu berkilau dalam cahaya temaram, dingin, seperti kesunyian yang memeluk malam itu. “Perang ada di sekitar kita. Keluarga kita sudah turun-temurun hidup dan mati dengan pedang. Sudah waktunya bagimu untuk memilih.”
Nion mendengar suara itu, namun pandangannya tetap ke arah luar jendela, ke arah bintang-bintang yang menggantung jauh di atas cakrawala. Bintang-bintang itu selalu mengingatkannya pada kisah Kouzuki Oden, samurai legendaris yang berani menentang takdirnya dan berlayar ke negeri-negeri jauh. Oden tidak berperang hanya demi tanah dan kehormatan ia mencari pengetahuan, petualangan, dan kedamaian.
“Tapi apa yang kucari mungkin bukan di sini, di medan perang,” bisik Nion, hampir tak terdengar, seperti gumam angin. “Apakah tidak ada jalan lain, selain jalan darah?”
Ayahnya diam sejenak, seakan ucapan Nion barusan menamparnya. Namun, dengan nafas panjang, ia menjawab. “Di dunia ini, hanya pedang yang membuat kita dihormati, Nion. Pedang adalah kehormatan. Tanpa itu, kita tidak ada artinya.”
Namun, Nion tidak percaya. Baginya, kehormatan bukan hanya sesuatu yang dipahat oleh darah. Ada kekuatan lain, lebih besar dari pedang. Ada ilmu, ada rasa, ada kedamaian yang lebih kuat dari kematian.
Kenangan masa kecil Nion selalu dihiasi dengan kisah-kisah petualangan yang diceritakan oleh ibunya di depan perapian. Ibunya, dengan suara lembut yang selalu terdengar seperti melodi angin musim semi, sering bercerita tentang Kouzuki Oden, tokoh le...