Langitku, monokrom. Perca-perca cahaya hanyalah setitik putih di tengah abu dan hitam kehidupanku. Filosofiku hanya satu. Kepentingan bagi orang lain, jauh lebih penting dari diriku sendiri. Aku adalah budak. Tidak lebih hebat dari seekor anjing jalanan yang mengais remah di pinggir meja makan restoran. Aku adalah batu es, yang siap mencair supaya bumi yang panas tidak bernasib sepertiku. Lambat laun, aku lupa bahwa hakekat kehidupanku cepat menguap. Kabut hanyalah sebuah singgasana sementara yang tidak percaya terhadap dirinya sendiri. Cepat sekali ia hilang dan tertiup angin malam. Seperti itulah aku menganggap diriku. Kabut yang tak bertuan. Siap dihempas walau tiupan angin jinak. Aku memandang hina langit dari balik kungkung besi ini.
Sebuah kenangan hari itu dimulai dengan kenangan di hari lainnya. Sebuah kenangan dimana aku melupakan sisi manusiaku dan benar-benar berubah menjadi seekor anjing penggila kebebasan. Bagiku, kata itu indah. Seindah hal paling baik yang bisa terjadi di dalam bayangan seseorang. Bayangkan saja sebuah kebebasan bisa menjadi satu-satunya harapanku di tengah ruangan sesak tampatku disekap 14 tahun lamanya. Tanpa protes, tanpa mau untuk bertanya lagi, aku mengurung semua rasa penasaran di balik kungkung tinggi bernama rasa takut. Hingga sebenarnya aku tahu betul, bahwa rasa takutku adalah rasa takut akan kebenaran itu sendiri.
Hari i...