Meriahnya hari raya sungguh terasa kali ini. Tangan-tangan bersalaman, mulut-mulut saling bermaafan, segala kesalahan dilupakan, makanan hari raya menjadi kudapan.
Di sebuah rumah joglo di pinggiran kota, suara orang-orang riuh rendah memenuhi hangatnya silaturahmi di pagi hari raya. Kejanggalan terjadi ketika sebuah mobil taksi berhenti di depan rumah itu. Sekian pasang mata menatap penasaran ke arahnya. Mereka berkumpul di pendopo[1] rumah joglo itu. Mengira kalau ada tamu yang datang dari jauh jadi mereka harus mengadakan penyambutan khusus. Tapi, mereka sedikit keliru.
Mbah Kukung, demikian dia minta dipanggil, kini duduk lesehan di pendopo bersama para keluarga muda. “Di mana Titin, Nak? Aku ingin bertemu. Aku saudara kandungnya.”
Mereka semua lalu saling tatap berganti-gantian. Tidak ada yang mengenal sang kakek meski sudah mengaku sebagai bagian dari keluarga. Tapi semua orang di rumah ini kenal Mpok Titin karena dia adalah ibu dan mertua mereka sendiri. Salah satu dari mereka berinisiatif untuk memapah Mbah Kukung menuju senthong[2] Mpok Titin yang juga sudah sepuh. Di hari-hari se...