Seorang perempuan kumuh dengan bayi mungil dalam gendongannya, sedang mengorek-ngorek tong sampah di belakang ruko kami. Matahari belum terbit.
Ia ketakutan dan mencoba menghindariku dengan langkah terseok-seok. Tangis bayinya makin melengking. Dari warna kulitnya yang coklat legam dan jilbab yang dikenakan, aku bisa mengenalnya sebagai etnis Rohingya.
"Tunggu!" Seruku dengan bamaca (bahasa Myanmar lisan). Sampah yang masih kujinjing, kulempar ke tong. Tubuh tuaku masih sanggup berlari mengejarnya.
Ia jatuh rubuh karena lelah d...