“Kau tidak pantas menjadi ayahku!”
Aku terpaku mendengar suara asing itu. Langkahku terhenti karenanya. Mataku bergegas menangkap asal suara itu.
Seorang anak berusia belasan merangkak perlahan. Meraih kursi rodanya yang terjungkir di dekat meja makan di rumahku.
Ini pertama kalinya aku melihatnya. Dia berusaha mengembalikan posisi kursi roda dengan benar. Dan … oh, Herlan?
Kakak pertamaku, Herlan, membantu memapahnya. Namun, remaja berkaos putih itu segera menampik tangan Herlan.
Herlan tampak terkejut mendapatkan reaksi dari remaja itu. Tangannya digarukkan pada punggung kepalanya sebelum berkata pelan.
“Biarkan aku membantumu.”
“Urgh! Aku … bisa melakukannya!”
Ajaib memang. Aku tidak pernah melihat pemandangan ini. Dia berhasil meraih kursi rodanya sendiri. Tampak mudah baginya untuk duduk manis di sana.
Tangannya bergegas memutar kursi rodanya dan menjauh dari Herlan. Ekspresinya berubah begitu mendapati diriku berdiri di hadapannya.
Dapat kutangkap saat matanya terbelalak kala melihat kehadiranku. Dia berhenti sesaat sebelum melewati tubuhku. Pandangannya tertunduk cepat begitu mata kami bertemu.
“Kau … menghalangiku!”
Aku terperanjat mendengarnya. Matanya memerah saat pandangan kami bertemu. Meskipun sesaat, aku dapat menang...