“Dua kali keguguran?”
Seorang dokter senior lewat paruh baya menilikku intens melalui kacamatanya dari seberang meja. Aku pun merasa bagai mundur ke masa lampau kala duduk di hadapan beliau sebagai mahasiswi. Beliau pernah menjadi mediator dalam kasus tugas laporanku yang macet dengan seorang dosen pembimbing. Beliau seakan hadir dalam dua masalah sukar di waktu berbeda, yakni akademik dan hidupku.
Aku malu menjawab pertanyaan itu. Di saat perempuan lain berkorban mati-matian demi memperoleh kehamilan yang sehat, aku terlihat seperti menyia-nyiakan dan tidak bersyukur. Jawaban lelaki di sisiku pun tidak menambah nilai plus sama sekali, “Iya, Dok. Kecapekan kerja.”
Kulirik sepintas suamiku lewat sudut mata. Aku bekerja keras demi siapa, coba?
Aku masih terperangkap dalam rasa bersalah hingga keesokan hari sembari menatap dinding dengan wallpaper bercorak kuning membosankan di hadapanku. Tidak melakukan apa-apa, begitu saja selama berpuluh-puluh menit kemudian. Dadaku terasa kosong. Bukan seperti sebuah kelegaan, tetapi lebih seperti ada yang mengisap habis isinya hingga kempis. Aku membayangkannya dengan anekdot sebuah balon. Balon besar berlapis harapan yang terbang tinggi karena penuh gas antusiasme akan masa depan. Namun di puncak ketinggian, balon itu dihempas oleh angin kehidupan, lantas tersangkut di ruang sempit berisi meja tindakan. Di atasnya, berjejer jarum suntik beragam ukuran dari 27 gauge untuk suntik vitamin C, 30 gauge untuk suntik jerawat, serta jarum kecil berbelalai panjang untuk mesotherapy. Jarum-jarum itu lantas menusuk balon harapan milikku hingga meletus.
Angin berdesis keras keluar dari bagian vakum mesin pompa mesotherapy dan mengembalikanku ke realitas. Ah, sebaiknya aku mulai menghentikan arus pikiran yang kacau ini sebelum balon lain tertusuk oleh stres yang kucipt...