“HARUS banget apa Ma, aku yang nganterin?” Na menegaskan sekali lagi, menatap mamanya dengan wajah murung dan pandangan meragu.
“Emang kenapa, sih?” Mamanya balas bertanya sambil menutup wadah terakhir berisi ayam goreng sambal ijo. “Nganterin gini aja kok ogah-ogahan gitu.”
“Is di rumah sendirian, Ma. Gak enaklah kalau aku yang anter.” Na memutar bola matanya. “Ntar jadi omongan tetangga lagi.”
“Omongan tetangga gimana? Wong kamu cuma anterin di depan pintu doang kok, gak sampe masuk.” Mamanya menyerahkan rantang yang sudah dibungkus kain furoshiki kepada Na. “Nanti tempatnya suruh Is aja yang balikin.”
Dengan agak lemas, Na mendekap rantang itu ke dadanya, pamit kepada mama dengan bibir sedikit mengerucut, lalu menuju rumah Is yang berjarak tak jauh dari rumahnya.
Daun pintu merah kecokelatan yang cat kayunya mulai mengelupas itu mengayun terbuka pada ketukan seiring salam yang ketiga. Pemuda berambu...