Nauli menggeser gerbang rumahnya. Ia bertemu pembantu rumah tangganya, Kak Santi yang sedang menyiram bunga.
“Kok sudah pulang, Li?” tanya Kak Santi.
“Ada rapat guru. Jadi kita disuruh pulang.”
Nauli membuka sepatu sebelum masuk ke rumah. Dengan kaos kaki yang masih terpasang, langkah kaki gadis yang masih berusia 16 tahun itu menjadi selembut langkah kucing. Nauli setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua.
Mata Nauli membulat ketika menyadari ada orang lain di kamarnya. “Sedang apa?” tanya gadis berambut panjang itu.
Nauli tidak sabar menunggu sosok yang masuk ke kamarnya dengan cara diam-diam itu menoleh. Nauli mendatanginya lebih dekat. Ia terperangah melihat buku yang ada di tangan tamu tidak diundang tersebut. Itu buku hariannya!
Kulit Nauli diterpa rasa panas yang menjalar sampai ke seluruh tubuh. Wajahnya memerah. “Kau nggak berhak.”
“Maaf, Nauli. Tapi, sebagai ibumu, Ibu boleh saja….”
“Kau bukan ibuku.”
Nauli berusaha meredakan kemarahannya. Seperti yang pernah diajarkan oleh guru olahraganya, ia mengambil napas dari hidung dan membuangnya lewat mulut. Hatinya meradang luar biasa. Nauli menjauh dari kamar tidurnya.
“Nauli!” Wanita yang menyebut diri sebagai ibunya memanggil.
Nauli mengabaikannya. Tapi, tidak lama. Kira-kira lima menit kemudian, Nauli sudah berada di depan pintu kamarnya lagi.
Setitik cahaya memantul dari sebilah pisau yang dipegang Nauli. Ia mengangkat tangan ...