Menyusuri Pesan TersiratNya

Oleh: Gia Oro

Suara bising dari pengeras suara dan pandangan dipenuhi oleh hilir mudik orang-orang datang dan pergi dari keberangkatan udara selalu menjadi kesibukan tiada henti di bandara. Di balik dinding sebuah kaca, pesawat mendarat dan beroperasi menuju awan-awan yang kelak dilalui. Gadis berjilbab yang menggendong ransel dengan sedikit aksesori, berada di antara para calon penumpang yang menunggu jam memasuki kapal terbang. Tidak seperti saat di masa kecil ia diliputi ketakutan akan jatuh, kali ini meski rasa takut memang masih ada namun suasana hati muram lebih mendominasi. Sang ibu yang berjanji akan menjemput ke tempat perantauan baru, rupanya tidak bisa memenuhi janji. Sebagai gantinya, adik lelaki sang ibu beserta istri dan anak-anak yang ada keperluan di ibu kota, yang menjemput saat akan kembali ke perantauan.

Kendati telah menyatakan keberatan, namun ia kemudian mengalah karena bisa dirasakannya melalui panggilan suara maupun panggilan video, ibu seperti menimbang-nimbang akan mengusahakan menjemput nanti. Rasa tidak enak lantas terasa, ia patuh dijemput paman sekeluarga. Sudah kepala tiga, sangat disadarinya betul ia belum dewasa. Belum lagi tubuh dan wajah seperti anak sekolah, membuatnya terbawa kekanak-kanakkan. Akan tetapi bukan karena manja agar ibu menjemputnya, melainkan kondisinya sedang tidak baik-baik saja selain sangat dibutuhkannya sang ibu sebagai sang support system. Tentu saja bukan berarti ia tidak akan berlatih supaya bisa sedewasa usianya, meski bukan hal mudah untuknya dengan kondisi sebagai pasien dari dokter kesehatan jiwa—atau psikiater, yang ternyata tidak bersabar menanganinya supaya benar-benar pulih tanpa obat.

Perhatiannya teralihkan saat tiga sepupunya yang masih kecil mulai dilanda bosan, satu per satu mereka mulai turun dari bangku dan masuk ke hilir mudik orang-orang bandara. Paman yang merupakan adik sang ibu segera mengejar, sang istri turut pula akan menangkap. "Denissa, kejar Isa!" seru istri sang paman saat si gadis berjilbab tiga puluhan itu akan ikut serta mengejar dan menangkap salah satu sepupu. Diam-diam Denissa menikmati aksi kejar-kejaran ini, karena ia juga sama bosannya dengan para adik sepupu. Sempat dadanya diselimuti kekhawatiran bila tidak ditemukannya Isa si bungsu, namun ia kembali bergairah saat pandangannya menemukan bocah yang masih TK itu.

Denissa berhasil meraih tangan kecil itu, tetapi saat itu juga ada anak kecil lain menarik tasnya seraya berkata "Wah!!! Cyborium!!! Kak Felix!!! Ada Cyborium!!!"

Denissa merasa terseret, pun Isa yang berusaha tidak akan dilepaskannya. Berusaha supaya tidak melangkah mundur agar tidak sembarangan menabrak orang-orang, namun dengan langkah seperti kepiting yang tidak termasuk dalam perkiraannya pun tetap saja berulang kali ia minta maaf pada siapa pun yang tidak sengaja disenggolnya. Hingga akhirnya ia lega karena anak kecil yang menarik tasnya terlepas dan terpisah darinya. Hembusan napas mencelus dari mulut, kembali ia menerobos orang-orang untuk membawa Isa ke ayah bundanya.

Paman dan istrinya sudah bersama tiga anaknya. Isa mulai menceritakan apa yang baru saja dialami, namun melihat dua kakaknya menikmati jajanan, si bungsu pun merengek minta dibelikan. Saat istri paman menoleh pada Denissa seperti ada yang akan dibicarakan, Denissa memeriksa tasnya yang sempat ditarik anak kecil tadi. Matanya membola karena gantungan kunci tasnya sudah putus bahkan beserta resletingnya.

"Ada apa, Denissa?"

"Sebentar, punya Denissa kayaknya ada yang terlepas!"

"Jangan lama-lama! Nanti ketinggalan pesawat!"

Denissa berusaha mengingat-ingat kemana saja tadi ia sampai ada anak kecil nakal menarik tasnya. Namun dalam hati, ia menyesal menyebut nakal, karena sudah diyakininya tiada anak yang nakal, yang ada adalah anak yang belum tahu. Ya, anak tadi belum tahu kalau apa yang dilakukannya tadi adalah sebuah kesalahan. Dorongan untuk menyalah-nyalahi tidak dilakukannya meski hanya menggerutu di dalam hati. Pandangannya memindai ke bawah tidak peduli bila menemukan gantungan kunci itu dalam keadaan terinjak-injak. Akan tetapi, ia merasa kembali diseret dari belakang sebagaimana anak kecil asing tadi. Kali ini tidak akan dibiarkan, ia meraih tangan yang menarik-narik tasnya, namun tangan yang rupanya bukan milik anak kecil juga meraih pergelangan tangannya.

Denissa terkejut begitu sepasang matanya menangkap wajah itu. Sosok pemuda lebih tinggi darinya, berusaha meminta maaf dengan bahasa inggris. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke ara...

Baca selengkapnya →