Renjana menyentuh batu nisan yang dingin. Namanya terukir jelas: Suwarti. Air matanya kembali tumpah, hangat membasahi pipi yang kini terasa begitu lelah. Di tangannya tergenggam sebuket bunga melati, harumnya samar tertiup angin senja yang murung. Bibirnya bergetar. "Nek, Renjana rindu," bisiknya, suara parau nyaris tak terdengar.
Ia memejamkan mata, membiarkan ingatannya melayang jauh ke belakang—ke masa-masa tergelap yang membentuk dirinya ki...