Sebenarnya, pada malam ke sebelas, aku bermimpi aneh kembali. Setelah—kau tahu—aku melewati mimpi-mimpi sepuluh malam[1] yang pelik nan ganjil itu. Tetapi, Aku tidak menceritakannya kepada siapa pun sesegera mungkin. Tidak seperti cerita dari mimpi-mimpi sebelumnya. Karena, apalah arti sebelas itu—tidaklah lebih lanjutan bilangan yang berulang dari satu di digit berikutnya.
Namun, setelah aku menimang-nimang, apakah sebaiknya aku menuliskannya kembali setelah melewati waktu seratus tahun penantian kebangkitan ibu atau memendamnya sendirian saja...