OMEGA KEY : DEFIANCE

Oleh: Fajar Setiawan

Di langit senja yang perlahan memudar, Satria Wibowo berdiri di tepi dinding gedung sekolah, menghadap pemandangan kota Jakarta yang kini telah berubah drastis. Lampu-lampu mulai berpendar, membentuk jaringan bercahaya di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Hologram iklan melayang-layang di udara, mempromosikan produk-produk yang bernuansa futuristik, terlihat seperti pola urat nadi teknologi yang menghidupkan kota. Udara terasa dingin dan lembab, membawa aroma logam yang asing. Ini bukan lagi Jakarta yang dikenal oleh orang tuanya dulu. Kota ini kini telah berubah  perlahan-lahan menjadi sarang teknologi canggih dan rahasia-rahasia gelap yang tersembunyi di balik kemilaunya.

 

Namun, meskipun suasana kota dan di sekelilingnya telah berubah dengan begitu cepat, kehidupan Satria tetaplah sama. Terlihat begitu datar dan monoton, tanpa ada satupun hal-hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Saat teman-temannya mulai sibuk membicarakan masa depan mereka seperti Universitas yang menjadi tujuan mereka dan karier yang gemilang yang ingin mereka capai, Satria hanya diam saja. Ia merasa seakan terjebak dalam kebosanan yang tak terhindarkan. Mimpi-mimpinya terasa begitu jauh, samar, dan tidak jelas. Apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar hidup biasa-biasa saja?

 

Saat itu, Satria merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Seperti ada sepasang mata yang menempel di punggungnya, mengawasi setiap gerakannya.

 

Perasaan itu mulai menggelitiknya ketika ia turun dari kereta pagi tadi. Sebuah firasat aneh menggelitik di belakang kepalanya—seolah sepasang mata tak henti-hentinya mengikuti setiap langkahnya, merasa ada yang ganjil, dia merasa ada seseorang atau sesuatu menyorotkan perhatian yang tajam ke arahnya. Satria menoleh beberapa kali sepanjang perjalanan ke sekolah, mencari asal muasal dari kegelisahan yang ia rasakan. Tapi tak ada satupun yang terlihat begitu mencurigakan, yang dilihatnya hanyalah kerumunan orang-orang yang sibuk dengan perangkat mereka, tenggelam dalam dunia virtual mereka sendiri, namun bayangan-bayangan di sudut matanya terasa terlihat begitu nyata.

 

Sepanjang hari, Satria mencoba mengabaikannya, membujuk dirinya bahwa itu hanyalah perasaan sesaat. Namun, saat bel pulang berbunyi dan kerumunan mulai membubarkan diri, firasat itu semakin mendesak, seakan ada seseorang masih mengawasinya dari jauh. Satria menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya paranoia yang tak mendasar. Tetapi jantungnya berdebar kencang, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Langkahnya dipercepat, berharap bisa segera sampai di rumah.

 

'Mungkin hanya perasaanku saja,' gumamnya dalam hati meskipun setiap langkahnya terasa lebih berat. Namun, suara langkah kaki yang mengikutinya dari belakang membuat bulu kuduknya merinding. Ia yang tak bisa menahan rasa takut, mendadak terkejut saat tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahunya.

 

"Hei, Satria!"

 

Satria berbalik cepat, jantungnya nyaris melompat keluar dari dadanya. Itu wajah temannya, Andi, menyambutnya dengan senyuman ceria. "Kau terlihat tegang begitu. Apa kau baik-baik saja?"

 

Napasnya terhenti sejenak, sebelum perlahan-lahan kembali normal. Satria menghela napas lega, menepuk pundaknya sendiri seolah ingin menenangkan diri. Dia tersenyum kecil, meski masih terasa tegang dan canggung. "Ah, tidak apa-apa, aku hanya merasa sedikit aneh. Mungkin lelah."

 

Andi menepuk bahunya dengan ringan. "aku rasa… kau harus beristirahat. Aku dengar ada film baru saja dirilis. Bagaimana kalau minggu besok kita pergi menontonnya?"

 

Satria tersenyum...

Baca selengkapnya →