“JAGAT!” katanya. Suaraku sendiri. Atau mungkin suaranya.
Tidak ada yang lebih setia dari suara ibu di kepala. Bahkan setelah ibu mati. Suaranya tetap hidup, mengetuk-ngetuk dinding tengkorak seperti ingin kembali keluar, mengajari aku cara menyuap nasi dengan tangan kanan.
Namaku Jagat, dan aku menyimpan otak ibuku di dalam kepalaku sendiri. Secara harfiah. Kamu tidak salah dengar. Ini bukan metafora. Sekali lagi, harfiah.
Sebuah hasil dari p...