Matahari menggantung rendah di langit sore, menyemburkan warna jingga ke dinding apartemen tua yang terkelupas catnya. Di sudut ruang tamunya, Arga berdiri tertegun menatap sebuah kotak besar dengan label yang kusut di sudutnya. Tidak ada nama pengirim, hanya alamatnya yang tertulis miring, seolah terburu-buru.
“Ini pasti salah kirim,” gumamnya pelan, tapi suara langkah kaki pengantar paket tadi sudah lama hilang.
Tangannya, yang sedikit bergetar, merobek lakban bening yang melilit kotak. Udara dari dalam kotak menyeruak—bau kain baru bercampur sedikit aroma plastik. Saat dia membuka lipatan kardus, matanya membulat.
Di dalamnya, sebuah kostum superhero lengkap terlipat rapi, lengkap dengan topeng dan sarung tangan hitam berlapis metalik. Kainnya berkilauan di bawah lampu neon, seperti sesuatu yang keluar dari film besar.
Arga mengangkat kostum itu dengan hati-hati, membiarkan tekstur kainnya meluncur di antara jari-jarinya. Lembut, tapi kokoh. Di bagian dada, ada simbol petir berwarna perak yang memantulkan cahaya.
"Ini gila," dia berbisik, meski tidak ada siapa pun di ruangan itu untuk mendengarnya.
Tiga jam kemudian, Arga berdiri di depan cermin penuh debu di sudut kamarnya. Kostum itu...