DI warung kopi Kutunggu Jandamu sore itu berbeda dari hari biasanya. Tawa para pria yang sedang menikmati bergelas-gelas kopi berderai-derai. Asap rokok murahan yang tak tentu asal-muasalnya bergulung-gulung di langit-langit warung, lalu hilang ditelan angin. Adalah Qusairi yang tawanya jauh lebih keras dari kedua kawannya, Mahmud dan Herman. Di ambang petang itu, ketiganya baru pulang dari kerja, merenovasi rumah Markuat. Dan, setiap akhir pekan...