Aku melangkah ragu-ragu ke luar dari dalam rumah, menolehkan kepala ke kiri, ke arah teras rumah Tante Sari yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. Kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di teras rumah sambil membersihkan bahan-bahan sayuran untuk hajatan, acara khitanan cucunya Ibu Sari yang akan diselenggarakan nanti malam.
Aku mengurungkan niat untuk ke rumah Tante Sari, memilih duduk di bangku teras, bersembunyi dibalik bunga jejeran pot-pot koleksi bunga anggrek milik Mama. Dari situ aku melihat seorang perempuan tengah menyuguhkan hidangan daging segar beserta minuman dari darah segar. Sesekali kudengar ia menyebut-nyebut namaku dengan nada suara sedikit ditekan. Matanya melirik ke arah teras rumah, memastikan tak ada aku atau Mama yang mendengar suaranya. Mungkin ia tak sadar kalau Mama sudah dari pagi berada di rumah itu karena dipinta Tante Sari untuk memasak.
Dari jauh kulihat perempuan pemakan bangkai itu sedang berceloteh, tak tahu siapa lagi sedang ia ceritakan. Bibirnya yang tebal itu mengot-mengot, mengekspresikan berbagai bentuk ujaran, matanya membeliak ke sana kemari, melihat wajah satu persatu orang yang ada di lingkarannya. Suaranya terdengar paling kencang, menandakan tak ingin ditandingi oleh siapapun dan ia hanya ingin di dengar, tapi tak mau mendengar.
Sebagian ibu-ibu yang suka bergunjing pasti akan turut serta menikmati santapan daging manusia yang perempuan itu suguhkan. Sementara sisanya ada yang cuma senyum-senyum saja, ada juga yang pura-pura tak mendengar melainkan sibuk dengan sayur-sayuran yang bertumpuk di depan mer...