Malam di Desa Akitsuki diselimuti kabut tebal yang bergerak perlahan, mengaburkan pemandangan gunung-gunung menjulang di sekitarnya. Angin malam berhembus lembut, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang, serta aroma tanah basah dan dedaunan lembab yang memberikan firasat buruk. Desa itu terlihat tenang, namun di kejauhan, samar-samar terdengar suara perang. Denting pedang beradu, teriakan prajurit, dan gemuruh kuda-kuda yang berderap, membuat siapapun yang mendengarnya tahu bahwa kehancuran tengah mendekat.
Akitsuki pernah menjadi surga kecil, sebuah desa damai di antara lembah yang terlindungi oleh pegunungan. Namun, perang yang menjalar dari satu wilayah ke wilayah lain dalam zaman Sengoku yang penuh kekacauan mengubah segalanya. Penduduk desa yang tersisa bergerak dengan hati-hati, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata musuh yang tak terlihat. Beberapa wanita tua duduk di depan rumah mereka, mencoba menjahit pakaian atau memperbaiki alat-alat pertanian, namun tangan mereka gemetar. Anak-anak yang biasanya berlari dan tertawa kini hanya berbisik di antara mereka, takut membuat suara terlalu keras. Desa yang dulu penuh dengan kehidupan sekarang dipenuhi dengan ketakutan yang membisu. Di kejauhan, suara perang seperti bayangan gelap yang menutupi langit, mengancam untuk menelan desa kecil ini kapan saja.
Sekarang, desa itu bagaikan oase di tengah badai. Dari segala penjuru, konflik berkecamuk, meski tempat ini masih dipeluk oleh keheningan palsu yang terasa seperti ilusi. Pohon-pohon sakura yang dulu menjadi simbol kehidupan kini terlihat layu. Kelopak-kelopaknya yang jatuh menciptakan karpet merah muda di atas tanah yang dingin, seperti air mata yang tumpah untuk mengenang masa lalu yang damai.
Nion, seorang pemuda yang lahir dari keluarga samurai terhormat, berdiri di tepi desa, matanya tertuju pada puncak gunung yang tertutup kabut tebal. Langit malam di atasnya tampak berat, penuh dengan awan kelabu yang menggantung rendah, seolah menekan tanah di bawahnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, desa itu terlihat seperti dunia lain, seolah terjebak di antara kedamaian yang rapuh dan perang yang akan datang. Di kejauhan, gemuruh pertempuran semakin jelas terdengar, mendekati desa ini dengan pasti.
“Perang tidak pernah memilih siapa yang terlibat,” pikir Nion dalam diam. Kata-kata itu bergema di dalam dirinya, mencerminkan kebimbangannya yang semakin mendalam. Sebagai seorang samurai, ia diajari bahwa kehormatan adalah segalanya, dan kehormatan hanya bisa ditebus dengan darah. Namun, di malam yang penuh firasat ini, ia mulai meragukan semua yang diajarkan kepadanya.
Pohon sakura di dekat Nion bergoyang pelan, kelopak-kelopaknya jatuh perlahan, terbawa oleh angin yang dingin. Setiap kelopak yang gugur bagaikan pengingat pahit bahwa segala sesuatu yang indah bisa hancur dalam sekejap. Nion menarik napas dalam-dalam, merasakan dinginnya udara yang masuk ke paru-parunya, memberikan sedikit kelegaan di tengah ketegangan yang meliputi desa. Pedang keluarganya, sebuah katana yang diwariskan turun-temurun, tergantung di dalam rumahnya. Pedang itu adalah simbol kehormatan dan kekuatan keluarganya, namun bagi Nion, pedang itu mulai terasa seperti kutukan.
Di kejauhan, api mulai terlihat di kaki pegunungan tanda bahwa pasukan dari klan Takahiro, yang dikenal karena kekejaman dan ambisi mereka, semakin mendekat. Klan-klan besar yang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan tidak lagi membedakan samurai dari petani semua terlibat dalam peperangan yang seolah tiada akhir. Desa-desa di sekitarnya telah rata dengan tanah, dan Nion tahu bahwa desanya tidak akan lama lagi mengalami nasib yang sama.
Namun, meskipun Nion tahu bahwa waktunya semakin menipis, hatinya masih dibebani oleh kebimbangan. Sejak kecil, ayahnya mengajarkannya bahwa seorang samurai harus selalu siap mengangkat pedangnya untuk membela kehormatan.
Malam semakin larut, tetapi suara perang di kejauhan tidak kunjung reda. Nion memandang ke arah cakrawala, di mana api dari pasukan Takahiro mulai terlihat. Di bawah cahaya bulan yang mulai memudar, pohon sakura yang menggugurkan kelopaknya mengingatkan Nion pada cerita tentang Kouzuki Oden, seorang samurai yang memilih jalan damai. Kelopak bunga yang berjatuhan menjadi simbol waktu yang terus berjalan dan...