Kau pikir, menjalani hidup damai dengan tetangga itu semudah membalik telapak tangan. Kau pikir, dengan semua sikap santunmu, kau bisa diterima di tempat mana pun. Kau pikir juga, setiap orang yang bertemu denganmu, akan bersikap baik dan tulus. Nyatanya, apa yang kau alami sekarang, tidak seperti yang kau impikan dan harapkan. Apa yang kau dapatkan sekarang, bukanlah balasan dari semua perbuatan baikmu.
Semenjak kecil, kau sudah didoktrin oleh orang tua dan lingkungan masyarakat. Bahkan di buku-buku pelajaran sekolah pun, selalu ditanamkan sikap untuk saling menghargai sesama, saling menolong, dan membantu. Namun, apa yang kau temukan di dunia nyata, sangatlah jauh berbeda. Semua orang memahami teori dengan baik, bahkan hapal di luar kepala. Tak jarang pula mereka memaki atau mengomentari sikap orang yang tidak sesuai dengan norma-norma itu. Sayangnya, praktek yang dilakukan sendiri, nol besar.
Diskriminasi, perundungan, tatapan sinis, dan hal-hal semacam itu, seringkali kau terima tanpa alasan yang jelas. Kau tidak mengerti mengapa kau harus menerima semua perlakuan buruk itu. Kau juga tidak bisa memahami apa yang salah dari sikapmu atau dirimu, sehingga patut mendapat ketimpangan itu. Yang jelas, kau berusaha menerimanya dengan lapang dada. Kau tetap bersikap baik dan santun pada mereka. Meski mereka memperlakukanmu dengan semena-mena, kau tetap memamerkan senyum manis dan tawa yang riang, seolah hal itu tidak menjadi masalah buatmu. Kau terus melakukannya tanpa lelah. Menurut pendapatmu, bukan hakmu untuk menghakimi mereka. Kau percaya hukum sebab akibat itu pasti ada. Siapa yang menabur, akan menuai.
Kau, seorang wanita berusia 27 tahun dengan tinggi 165 cm dan berat 55 kg. Cantik, berparas blasteran Belanda-Tionghoa dan Jawa. Kulitmu memang tidak seputih gadis-gadis keturunan lainnya, yang sering kau anggap sebagai kekurangan dari dirimu. Kau merasa berbeda dari saudara-sa...