Sumur Setan
"Sumur setan, sumur setan, gemanya tak teredam. Sumur setan, sumur setan, mencari anak nakal."
Lin, kau sehat? Hari ini aku baru saja menyelesaikan cerpen realisme magis pertamaku. Aku kirimkan ini untuk engkau baca lebih awal. Hidupku terlalu miskin lagi papa sehingga tidak banyak pemberian yang dapat kuberikan di hari pentingmu ini. Hari pertama kali kau melongok menatap dunia dengan terisak-isak karena ketidaktahuanmu akan hakikat dunia yang fana. Tetapi aku yakin, sudah lama sekali kau pasti berhenti menangis macam itu, kau pasti tidak lagi merengek-rengek sebebas hari itu, dan memang sebaiknya kau tidak perlu lagi membuang-buang air matamu hanya untuk hal yang tidak perlu. Air mata terlalu berharga untuk persoalan remeh, sahabatku. Apa yang kurang dari hidupmu, duhai Lin yang manis? Kau menghadapi dunia yang lunak dan lemah lembut padamu. Sementara aku tidak, aku adalah anak tiri dunia yang terus-terusan diinjak-injak kemalangan. Berkali-kali aku berdiri dan bangkit melawan, berkali-kali pula aku dijatuhkan hukuman, sedangkan harapanku dicabik-cabik tanpa ampun. Percuma melawan. Sungguh percuma, Lin, rasanya sia-sia aku melawan musuh yang mungkin tak punya kelemahan ini. Menangis satu-satunya perlawanan terakhir yang dapat kulakukan saat ini. Menangis tanpa air mata. Sejak hari kelahiran terkutukku itu, aku tidak dapat menghentikan kesedihan atas keberadaanku di dunia bajingan ini.
Tapi lupakan bagian itu, hari ini aku mengirimkanmu cerpen—semoga kau menerimanya dengan utuh—melalui asisten rumah tanggamu gemuk itu. Perempuan itu entah kali ke berap...