Sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan beratapkan ijuk tampak di hadapan. Rumah pertama yang kami temui begitu memasuki desa ini. Berbeda dari rumah-rumah lainnya, ia tampak paling menonjol karena memiliki beranda yang cukup lega. Warga desa menyebutnya sebagai Rumah Nene.
Setelah bersusah-payah menempuh perjalanan panjang melalui rute darat dengan bus dan omprengan, dilanjut dengan menaiki rakit sederhana melintasi danau, akhirnya kami sampai di desa terpencil yang terletak di cekungan lembah. Terisolir sepenuhnya dari peradaban. Begitu mengitari danau, barulah mata kami menyaksikan barisan gubuk dengan atap-atap ijuk hitam yang terselubungi kabut.
Pak Awang, yang semula mengantar kami menyeberang dari desa sebelah, kini sudah tak terlihat batang hidungnya. Sepenuhnya meninggalkan kami sendiri di sini. Seperti empat anak itik yang baru kehilangan induknya.
Aku, Rendi, Yoga, dan Nada.
Empat mahasiswa yang akan menunaikan kerja pengabdian di sebuah desa sebagai salah satu prasyarat akhir kelulusan selama dua bulan ke depan.
Semenjak datang, kami langsung menyadari kejanggalan dari desa yang kami masuki ini. Warganya, terutama kaum usia mudanya, hanya tersisa segelintir. Sepanjang jalan, kami menemui banyak rumah-rumah kosong yang ditinggalkan tak berpenghuni.
Dahulu desa ini merupakan pusat pembuangan para penderita lepra....