“Nasi goreng satu, Pak,” kataku lirih, duduk di tikar yang digelar seadanya.
“Owh, iya, Mas,” jawabnya pelan.
Tangannya meracik bumbu dengan cekatan. Geraknya cepat, seperti orang yang sedang dikejar lapar.
Gerobaknya kecil, penuh lubang menganga—seperti tubuh yang sudah lama menahan sakit tapi enggan mengaduh.
Sambil menunggu, mataku menatap punggungnya. Punggung bungkuk, bukan karena usia, tapi karena beban yang tak terlihat. Bahu itu me...