“Jacob! Heh!” teriakan kecil itu mengagetkanku. Aku yang sedang duduk di teras tongkonan(1) langsung merunduk sedikit kebawah. Itu Sali, kawan masa kecilku yang tinggal di samping rumah. Tubuhnya kecil, tinggi tak seberapa, kalau jinjit pun dia cuma bisa menyundul bahuku. Rambutnya ikal panjang, berwarna hitam, juga kedua matanya yang selalu membelalak dan penuh rasa ingin tahu.
“Apa!” aku balas meneriakinya, tentu saja dengan seringai di akhir karena melihat tubuh pendek Sali melompat. Kedua mata bulatnya melebar, kemudian yang aku lakukan hanya menghitung dari satu sampai tiga sampai Sali balas berteriak dengan kesal.
“Kau yang apa!” teriaknya sambil mengacungkan telunjuk. Aku menggernyit melihat kukunya, tumben sekali kupikir dia memakai cat kuku berwarna merah muda.
“Tumben. Mau kemana kau pakai itu?” aku balas menunjuk Sali. Dia kelihatan bingung, kemudian dia menyadari bahwa yang aku maksud adalah kukunya. Kemudian, bukannya menjawab, Sali malah merengut. Wajahnya merah bukan main, dia terdiam sambil menatapku seolah dia kesal. Eh, marah... atau mungkin murka.
“Kenapa? Jelek kah?!” dia balas berteriak, kali ini lebih kencang. Aku kaget, be...