Setiap pulang sekolah, di belantara kebun cengkih, pandanganku selalu tertuju di rumah hijau di depan perumahan kosong dan di tengah barisan Gunung Anak Kembar. Di belakang rumah itu, ada bangunan lain yang warnanya seperti akan menyatu dengan daun-daun cengkih. Atap seng yang masih baru mengilap ketika terkena cahaya matahari dan membuatnya mencolok dari jalan. Mata akan silau ketika bertemu cahaya tajam dari seng.
Rumah itu sepi, tetapi sebenarnya aku ragu untuk itu. Lingkungannya bersih seolah-olah debu takut untuk mendekat. Aku tidak bisa menghitung jumlah motor dan truk yang lewat di depannya, tetapi kotoran tidak menodai jendela kaca yang selalu bening. Jelas, ada orang yang tidak pernah absen membersihkannya.
Rak sepatunya penuh. Ada tiga baris rak sepatu yang bisa dikatakan sebagai lemari tiga susun setinggi diriku. Dengan ukuran dan jumlahnya, ada banyak sendal dan sepatu dari berbagai ukuran, ...