Siapa Penjahat Sebenarnya?

Oleh: MONSEUR

Demo

Jalanan di bawah sana ramai sekali.

Ramai bukan karna kendaraan yang berlalu lalang, bukan bunyi klakson mobil dan motor yang bersahutan, bukan pula kendaraan umum yang sembarangan menurunkan penumpang sehingga menghalangi kendaraan lain melintas.

Bukan karena itu jalanan ramai.

Melainkan karna orang-orang di bawah sana. Berlarian mengejar dan dikejar. Kekerasan dimana-mana. Gas air mata berterbangan. Asap mengepul tebal dimana-mana. Mobil-mobil terbakar menghiasi kengerian yang sedang terjadi. Toko-toko di sekitar dijarah habis-habisan, barang-barang dirusak, dibakar, bahkan dicuri.

Ribuan mahasiswa memberontak. Menyerang secara fisik kepada pemerintahan. Demo terbesar sepenjang sejarah. Ribuan orang menjadi korban jiwa, mulai dari mahasiswa sampai warga sipil yang tidak bersalah.

Aku berdiri mematung di atap sebuah gedung dengan empat lantai. Menatap jerih kengerian di bawah sana. Melihat darah yang terciprat membasahi jalanan beton. beberapa orang yang tergelatak bersimbah darah. Ayah, apakah ini yang kau harapkan?

 

Ucapan Selamat Tinggal

 

"Bu..., Ayah mau kemana?"

Usiaku saat itu genap menginjak enam tahun. Bertanya dengan polosnya kepada ibuku yang tengah menahan air mata membanjiri pipi. Melihat ayahku yang perlahan menghilang dibalik pintu.

Ayah pergi menggunakan seragam rapi. Berwarna abu-abu dengan topi aneh tertempel di kepalanya. Di punggungnya terdapat sebuah tulisan, tapi saat itu akuu belum bisa membaca tulisan itu. Mungkin nama pekerjaannya.

Beberapa menit sebelum Ayah pergi entah kemana, Ayah menghampiriku terlebih dahulu. Mengendongku.

Tubuhku kecil sekali saat itu. Mudah saja bagi Ayah mengangkatku. Selain karna tubuhnya yang tinggi besar, dia juga sering belajar di suatu perguruan beladiri yang membuat tenaganya menjadi lebih kuat lagi.

Aku menatap matanya lamat, begitu bersinar. Raut wajahnya begitu bersahabat. Gerahamnya kokoh. Tatapannya tajam. Sangat tampan.

Ayah tersenyum kepadaku. Senyuman itu adalah senyum yang sangat tulus. Jika aku sudah besar saat itu, mungkin aku akan menangis melihatnya.

Suasana lengang.

Atmosfer menyedihkan mulai terasa pekat. Walau tak ada sepatah katapun yang terucap.

Ibu yang berada di belakang Ayah meneteskan setetes air mata. Dia sudah tidak tahan lagi.

Setelah beberapa detik Ayah menggendongku, akhirnya dia berkata.

"Ayah pergi dulu ya nak..., doakan semoga Ayah kembali dalam waktu dekat. Jangan nakal! patuhi semua ucapan ibumu. Di suatu saat nanti, ayah yakin kau akan menjadi anak yang kuat. Anak yang tangguh." Ayah berhenti sejenak. Mengendalikan dirinya agat tetap tersenyum di depan anaknya, walau hati meronta-ronta tersiksa oleh kesedihan yang mendalam.

Ayah menghela nafas. Melanjutkan perkataannya.

"Di luar sana banyak sekali orang jahat nak..., banyak sekali. Sekarang penjahat-penjahat itu semakin sulit di taklukan. Malah semakin menyebar. Menyebar bagai wabah virus. Mengalir dari dunia bawah yang gelap. Lalu menerobos keluar secara membabi buta. Hingga orang yang paling kita percaya, bisa...

Baca selengkapnya →