Langit berwarna kelabu memantulkan cahaya redup ke jendela kamar Sofia. Tetesan air hujan perlahan meluncur, meninggalkan jejak samar di kaca. Udara dingin merambati kulitnya meski ia telah membungkus tubuh dengan syal tebal. Sofia menatap kotak kayu tua yang tergeletak di atas meja. Warna cokelatnya telah memudar, dan ujung-ujungnya retak, menunjukkan usianya yang tak muda lagi.
Ia membuka tutup kotak itu perlahan. Engsel berdecit, seolah protes terhadap gerakan yang telah lama tak terjadi. Di dalamnya, tergeletak setumpuk kertas kuning kecokelatan yang diikat dengan pita biru pudar. Aroma lembap bercampur wangi kertas tua menyeruak, mengisi ruangan dengan kenangan tak dikenal.
Jemarinya menyentuh lembaran pertama, merasakan tekstur kasar kertas yang kontras dengan lembutnya pita. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa tak wajar. Ia belum pernah melihat kotak ini sebelumnya. Dari mana datangnya?
Ketika pita terlepas, gulungan kertas terbuka, memperlihatkan tulisan tangan yang rapi namun berkarakter. Tinta hitam sedikit memudar, namun masih cukup jelas untuk dibaca.
"Kepada Sofia di masa depan,
Aku tahu ini akan terdengar aneh. Tetapi, percayalah, aku berasal dari masa lalu. Di setiap bait ini, aku menulis untukmu, untuk masa depan kita yang entah bagaimana terhubung. Jika kau membaca ini, berarti waktu telah menemukan jalannya. Maukah kau mendengar ceritaku?"
Hening. Hanya suara rintik hujan yang memecah keheningan di kamar. Sofia mengerutkan alisnya, merasakan sensasi ganjil menjalar ke tengkuk. Ia melanjutkan membaca, baris demi baris, hingga sebuah nama muncul di akhir surat.
"Hormatku, Adrian."
Nama itu seperti lonceng kecil di sudut pikirannya, samar namun familier. Sofia mengerutkan bibirnya, mencoba mengingat, namun ingatannya kosong. Ia membaca lagi surat itu, memastikan ia tak salah paham. Tidak ada al...