MESKI bukan kyai atau sarjana, Abah Musyafie yang baru setahun tinggal di Desa Waringinsungsang adalah jagonya bila bicara soal agama, pengetahuan umum, dan politik. Namun lelaki berumur enampuluhan yang semasa mudanya tak bercita-cita menjadi kyai, dosen, atau politikus kini memilih hidup sebagai tukang sapu surau tua di tepian desa itu.
Abah Musyafie prihatin atas keadaan surau tua yang ditelantarkan karena jemaah lebih memilih masjid baru di tengah Desa Waringinsungsang sebagai tempat ibadahnya. Dalam hati, Abah Musyafie merasa bahwa surau itu senasib dirinya. Selalu dikunjungi semasih megah. Ditinggalkan sesudah tua tak terurus.
Sekian lama Abah Musyafie merenungi nasibnya yang tak ubah surau tua itu. Namun kian merenungi surau itu, Abah Musyafie kian mencintainya. Kian mencintai surau itu, ...