Isna menikahi seekor babi. Namun kisah ini bukan tentang babi yang ia nikahi. Kisah ini tentang pemuda bermata polos kekanak-kanakan yang ia ajarkan mata pelajaran Sejarah. Si pemuda baru saja gagal dalam ujian tengah semester. Si pemuda menghadap Isna sendirian untuk mengikuti ujian susulan. "Kenapa tidak datang lebih awal?" Isna tidak menutupi nada jengkel dalam suaranya. Saat itu ruangan guru telah sepi dan ia sedang bersiap-siap pulang. Lagi-lagi ia satu-satunya guru yang tersisa.
Siswa bernama Alang-alang itu menatap Isna dengan raut menyesal. Si pemuda tidak tahu bahwa kali ini ia bermaksud pulang lebih awal.
Sesungguhnya Alang-alang tak peduli apakah Isna ingin segera pulang untuk merebahkan badan atau karena suaminya mungkin butuh tukang pijat gratis. Anak muda itu hanya peduli untuk memperbaiki nilai ujiannya agar nanti bisa membanggakan orangtua pada hari penerimaan raport.
Isna menarik kursinya kembali dengan suara keras. Ingin siswanya berpikir bahwa suasana hatinya sedang tidak baik. Alang-alang mengangkat kursi milik guru yang lain dan memindahkannya ke depan meja Isna. Gerakannya santun terkendali, derit sekecil cericip tikus pun tak terdengar dari salah satu kaki kursi. Alang-alang mengeluarkan kertas jawaban, menulis nama, dan tanggal. Isna membacakan soal pilihan ganda tanpa terburu-buru. Ganjil rasanya membaca soal yang sama dengan intonasi nyaris menyerupai bisikan, bukan setengah menjerit hingga urat leher menyembul.
Isna menikmati jeda yang tercipta setiap kali Alang-alang tampak sedang memikirkan jawaban. Isna suka membuat anak muda itu berpikir keras. Barangkali jawabannya salah. Setidaknya si siswa dibuat menggunakan otak.
Isna menyadari sesuatu selain jeda untuk berpikir keras. Mungkinkah bukan kebetulan Alang-alang datang ke ruangannya, minta ujian susulan sendirian, dan bagian dada kemejanya setengah terbuka? Isna bertanya-tanya apakah anak muda itu sengaja--semoga tidak!--untuk menggodanya. Untuk menggoyahkan konsentrasi sang guru. Untuk memuluskan nilainya sendiri. Isna merasakan dorongan untuk menghardik dan menyuruh Alang-alang menautkan kedua kancing atasnya. Namun itu tidak ia lakukan--entah kenapa. Jika seorang gadis membiarkan kancing kemejanya terbuka rendah, orang akan bilang ia mau pamer belahan dada. Untuk situasi yang sama, seorang pemuda barangkali hanya dianggap sedang gagah-gagahan. Apa pun alasan Alang-alang datang dengan kancing kemeja terbuka rendah, pemandangan itu berhasil membikin dada Isna berdebar tak keruan. Pemandangan itu menghantuinya hingga ia tiba d...