Langit Manila sore itu berwarna jingga tembaga. Di pojok ruangan kecil berukuran tiga kali empat meter, seorang pria kurus duduk menunduk di depan meja kayu reyot. Kacamata bundarnya memantulkan cahaya lampu minyak yang bergoyang ditiup angin dari jendela. Di atas kertas lusuh, tangannya menari cepat menulis kalimat demi kalimat — pikirannya jauh melampaui ruang sempit itu.
Tan Malaka.
Nama yang ia simpan rapat-rapat di balik samaran. Di paspor p...