Erlangga meninggalkan rumahnya setelah mengemasi beberapa pakaian berupa kemeja, kaos, celana, dan singlet, dan barang-barangnya seperti arloji, sepatu, dan hape androidnya ke dalam tas punggung hitamnya. Dipandanginya laki-laki paro baya yang membenamkan mukanya di balik koran Minggu pagi yang lagi duduk di kursi malas di beranda rumah panggung itu dengan tatapan marah. Lalu, sambil mendengkus, pemuda itu melangkah ke halaman rumah menuruni anak tangga dengan hati terluka. Ibunya yang melihat putranya nekat meninggalkan rumah segera mengejar, sembari memanggil-manggil nama suaminya.
"Pak, Pak, lho, Pak, Erlangga benar-benar nekat pergi, Pak! Gimana ini, Pak? Lho, Pak. Cegah dong, Pak! Ojo' meneng wae toh!"
"Alah biarin saja anak sontoloyo itu pergi," suaminya sama sekali tidak menggubris drama istrinya yang persis sama pemain sinetron. Ia tetap fokus membaca berita di koran yang jauh lebih dramatis ketimbang akting istrinya yang terlalu recehan. "Besok-besok dia akan pulang juga kok. Memangnya bisa dia bertahan hidup di luar tanpa uang? Mau dapat duit dari mana dia buat mengisi bensin perutnya, heh?"
"Bap...