Sayup terdengar teriakan-teriakan acak bersahutan, disusul derap langkah kaki-kaki menghantam keras lantai parket kayu. Lita membuka mata lemahnya perlahan. Yang pertama dia lihat hanyalah hamparan lantai, dan sepatu-sepatu yang membungkus kaki-kaki di atas lantai itu. Kaki-kaki yang tak henti-henti bergerak terburu-buru ke sana ke mari.
Lita tak bisa mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tahu-tahu dia sudah berbaring miring, dengan kepala berputar, seakan habis menenggak dua botol wine murah sekaligus. Tiba-tiba dia merasakan kepalanya terangkat, sebuah bantal diletakkan di bawahnya.
“Hei, hei… Lita, lu bisa dengar gue?”
Suara itu terdengar jauh, walaupun wajah Ariel, sahabat yang juga...