Tegak lurus di bawah langit Yogkakarta, aku terpaku pada batu-batu yang disebut salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini.
Stupa-stupa besar bertahtakan Budha yang tenang, relief-relief yang anggun terukir dahsyat, juga lanskap nyaris seujung dunia, membuatku menjadi patung yang lain di sini.
Kelelahanku sehabis konser di Bentara Budaya, terbayar sudah, bahkan lebih. Borobudur memang bukan sekedar pelepas lelah. Bagiku, ada semangat lain mengalir dari monumen terindah buatan masa keemasan Wangsa Syailendra ini.
Aku berpikir untuk melahirkan karya besar. Agung. Abadi. Membawa berkah. Seperti Borobudur. Pembuatnya adalah manusia-manusia dengan cita-cita seluas jagat raya, tinggi, bermartabat. Para pekerja keras yang tak lelah mematangkan ide-ide brilian.
Cermat. Tepat. Berorientasi tidak untuk kesesaatan.
Para pemahat Borobudur, membuat relief dengan kecermatan luar biasa. Mereka berpikir tentang pahatan yang halus, kesinambungan cerita simbolik yang terjaga, perekat batu yang tahan cuaca, juga sistem drainase yang akurat.
Tak ada air tergenang di sini. Dan dari ketinggiannya, ke arah penjuru mana pun, akan ditemui lanskap yang luar biasa.
Maka, kuukir kata-kata pada buku kecil catatanku. Kubuat lirik yang paling pas, untuk menggamba...