Prolog:
Hidup bertetangga harus bertenggang rasa, saling tolong menolong, saling menghargai, dan saling menghormati. Karena tetangga hakekatnya keluarga besar.
####
Hari masih sangat pagi saat aku mendengar suara ribut di rumah sebelah. Tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi tetanggaku itu menghadapi pagi dengan pertengkaran. Kudengar suara Yu Jum yang cerewet seperti burung beo sedang mengomeli Kang Panut.
“Sampeyan itu sudah kere, tapi masih juga main judi. Apa sampeyan ndak mikir kebutuhan anak-anak? Mau makan apa mereka kalau tiap hari sampeyan menghabiskan uang di meja judi!” seru Yu Jum sengit.
“Aku cuma iseng, Jum. Cuma judi kecil-kecilan. Tidak sampai ngabisin uang banyak!” balas Kang Panut sambil mendengus.
“Biar pun iseng dan kecil-kecilan, tapi kalau dilakukan tiap hari lama-lama juga bisa bangkrut!”
“Bangkrut opo? Kadang-kadang aku juga menang kok!”
“Yo, kadang-kadang menang, tapi lebih sering sampeyan kalah! Iya, to? Wis to, Kang. Ndak usah aeng-aeng. Orang judi itu dosa, ndak bakal bisa kaya. Sampeyan ndak usah judi lagi!”
“Tapi kalau tidak ikut aku nanti dikucilkan orang-orang. Dibilang tidak bermasyarakat!”
"Orang tidak main judi kok dibilang tidak bermasyarakat. Justru yang tidak main judi bisa menjadi contoh masyarakat!”
“Lho, kenyataannya begitu, Jum. Coba kamu tanya sama Kang Surip, Mbah Minto, atau sama Parjo. Mereka pasti akan mengiyakan kalau kita main judi itu cuma iseng. Buat cagak melek biar tidak ngantuk. Kita main judi cuma pas ada bayen, kematian, selametan, sama jaga pos kamling. Itu sudah jadi tradisi, Jum. Biar warga masyarakat jadi guyub dan rukun. Suka ngumpul. Tidak hidup sendiri-sendiri. Kita ini hidup di kampung, bukan di kota!”
“Kalau cuma alasan buat bisa guyub dan rukun, tidak harus dengan main judi, Kang. Ngumpul sambil ngobrol kan juga bisa!”
“Itu namanya ndak gayeng, Jum. Ngumpul tanpa main kartu tidak asyik. Tidak ada hiburannya!”
“Alaah, sampeyan memang pintar bikin alasan. Di mana-mana yang namanya judi itu ndak baik. Contoh itu Mas Supri. Dia tidak suka main judi, tapi masih bisa bermasyarakat!”
Tiba-tiba Yu Jum menyebut namaku. Hatiku dibuat melambung mendengar pujiannya, tapi sejurus kemudian rasa kecut dan pahit menohok tatkala mendengar ucapan Kang Panut yang terasa menyengat tajam.
“Kamu itu selalu saja mengunggul-unggulkan Supri. Selalu saja dia yang dijadikan perbandingan. Jangan-jangan kamu suka sama dia, ya? Kamu ada main sama dia?!” dengus Kang Panut ketus.
“Sampeyan jangan sembarangan! Aku ndak ada main sama Mas Supri. Sampeyan jangan bikin fitnah!” bantah Yu Jum.
“Alaah, ndak usah mungkir! Diam-diam kamu pasti suka ngobrol dengan dia waktu aku ndak ada di rumah. Iya, kan ... ?!”
“Astaghfirullah, Kang! Jangan bikin tuduhan yang macam-macam. Demi Allah, aku ndak demenan sama dia! Nanti kalau Mas Supri mendengar, sampeyan bisa dituntut! Sampeyan jangan memfitnah!”
“Alaah, orang selingkuh mana ada yang ngaku!”
Yu Jum tampaknya tidak terima dituduh berselingkuh. Dia kemudian menanggapi tuduhan suaminya itu dengan teriakan yang kukira bisa didengar oleh orang sekampung.
“Aku tidak selingkuh ... ! Jangan seenaknya sampeyan memutarbalikkan fakta. Sampeyanlah yang selama ini selingkuh! Sampeyan pikir aku tak tahu, kalau diam-diam sampeyan suka sama Warjinah, janda semok itu? Sampeyan pura-pura jajan di warungnya, tapi sebenarnya cuma mau menggodanya!”
“Siapa yang bilang? Biar kurobek mulutnya!” tukas Kang Panut gusar.
“Ndak usah tanya siapa yang bilang. Semua orang di kampung ini sudah pada tahu sama kelakuan sampeyan. Sampeyan suka berkencan dengan pelacur itu di gubuk tengah sawah! Banyak orang yang melihat!”
“Setan alas! Kutampar mulut kamu nanti!”
“Tampar saja kalau berani!”
Plak! Terdengar suara tamparan pada pipi keras sekali disusul pekik kesakitan Yu Jum.
Aku yang berada di dalam...