Namaku Andini. Dua tahun lalu, aku terjebak di tempat mengerikan ini, berkubang dengan kenikmatan penuh dosa. Aku ingin pergi, berlari, menjauh dari semua kenikmatan duniawi ini, tapi keadaan membuatku lumpuh.
Dua tahun lalu...
Aku duduk seorang diri, menatap kosong tanah lapang yang ditumbuhi gulma. Padang rumput liar dengan bunga-bunga kecil berwarna putih dan putik bunga berwarna kuning terang. Ibuku biasa menyebutnya rumput hareuga. Tapi beberapa orang di sini menyebutnya bunga ajeran.
Aku suka duduk di sini, menatap ladang gulma ajeran. Saat bunganya bermekaran, banyak kupu-kupu yang datang dan hinggap di atasnya, berwarna warni seperti pelangi. Cantik.
Seseorang menepuk pundakku. Aku mendongak.
“Kak Radit?”
Laki-laki itu tersenyum.
“Kenapa kau kemari?” tanyaku datar.
Dia duduk di sampingku, dua ibu jarinya mengusap sisa air mata yang hampir mengering di pipi ku.
“Jangan menangis,” ucapnya lirih.
Aku tersenyum hambar.
Radit. Cowok tampan putra tunggal juragan buah di kota kecil tempatku tinggal. Kebun jeruk dan duriannya berhektar-hektar.
“Kenapa tidak sekolah lagi?” tanya Kak Radit, menarik kembali tangannya.
Aku menggeleng lemah.
“Tidak ada yang salah dengan bekerja di bar, Din. Kau butuh uang untuk menyambung hidup. Apa kau tidak mendengarkan ucapan kepala sekolah. Mereka yang mencemooh mu, belum tentu pernah merasakan betapa kejamnya hidup bagi anak-anak sepertimu. Kembalilah ke sekolah. Masa depanmu masih sangat panjang.”
Air mataku kembali meleleh. Bukan aku tak ingin sekolah. Tapi aku tak mampu lagi menahan sesak akibat hujatan dan cemoohan Hanah dan beberapa teman sekolahku.
“Kau tahu, bagiku seorang yang bekerja sebagai pelayan bar jauh lebih terhormat daripada seseorang yang datang ke bar hanya untuk bersenang-senang.” Kak Radit berkata sinis. Ada nada kecewa yang tak sempat dia sembunyikan di dalam kalimatnya.
Aku diam, masih terisak dengan menyembunyikan wajah di antara lututku yang tertekuk.
“Din…” Kak Radit membelai kepalaku.
“Pergilah, Kak.” Aku menarik kepalaku dari tangannya.
“Kenapa. Aku tahu kau butuh teman untuk berbicara. Ceritakan. Aku akan ada di sini untuk mendengarkan.”
Aku menggeleng, membuang muka.
“Kau tidak harus melalui semua ini sendirian, Din. Terbukalah sedikit.”
“Pergilah, Kak Radit. Tolong. Aku butuh waktu untuk sendiri.” Aku memohon, menatap langsung ke dalam matanya, biar dia tahu aku bersungguh-sungguh.
Dalam lima hitungan mundur, Kak Radit berdiri. Matanya menatap kecewa.
“Aku tunggu kau besok di sekolah. Siapa pun yang berani menghujatmu, akan berhadapan lan...