Langit senja di Desa Windala menebar warna keemasan. Angin membawa aroma tanah dan daun basah, mengingatkan Rafka pada sore-sore sepuluh tahun silam—sore di mana suara gitar Reyan mengisi udara dan tawa mereka menyatu dengan nyanyian jangkrik.
“Lo balik juga, akhirnya,” ucap suara di belakangnya. Rafka menoleh. Reyan berdiri di sana, mengenakan hoodie hitam dan rambut acak-acakan, senyumnya masih sama seperti dulu, tapi matanya menyimpan luk...