Galih Suharsono, pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu berlari cepat sembari mengaitkan kancing bajunya. Bisa-bisanya ia terlambat bangun di hari paling penting yang sudah ia tunggu-tunggu selama dua minggu ini.
Tidak tanggung-tanggung, Galih terlambat setengah jam lebih, dari waktu yang sudah ditentukan.
Sungguh, ini semua gara-gara siaran bola yang tayang pagi tadi. Galih harusnya tidur setelah solat tahajud, bukannya menonton siaran bola yang bahkan berakhir mengecewakan itu— tim yang Galih dukung kalah telak.
Sekarang, pupus sudah harapannya untuk memilih Fatimah menjadi istrinya.
Sebab saat Galih sampai pada aula pesantren itu, sang Kiai terlihat tersenyum cerah sembari menunjukkan seorang gadis yang masih duduk di tempat pilihan pada Galih, "Saya kira Kang Galih ini tidak datang. Hampir saja saya carikan ganti. Sini, Kang ... Neng Saras sudah menunggu sedari tadi."
Galih menegak ludah susah payah saat melihat Saras. Bukan apa-apa, hanya saja badan Saras cukup besar— sangat jauh dari ekspetasi Galih. Bahkan membayangkan untuk berkenalan dengan Saras saja, Galih tidak pernah.
Namun melihat bagaimana senyum tulus sang Kiai, Galih jadi segan untuk menolak.
Siapapun tahu, jika perjodohan ini bukan atas dasar paksaan. Sang Kiai jelas sudah memilah siapa santriwati yang tepat untuk dijodohkan dengan sekelas 'Santri Senior' seperti dirinya ini.
Dan yang lebih utama, berdirinya Galih di sini jelas atas dasar keinginannya sendiri.
Jadi tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk, terlebih pada Saras sendiri, Galih pun mendekat. Dengan hati yang dibuat lapang seluas-luasnya, Galih tersenyum lembut pada Saras.
Kemudian dengan cepat, pada tempatnya, Saras membalas senyuman itu dengan malu-malu.
Sorakan riuh para santri, dan santriwati lain cukup membuat Galih semakin kikuk. Mereka turut bahagia— padahal jauh dalam lubuk hati Galih, pemuda itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Tidak tahu harus bahagia dengan cara apa. Sebab pilihannya ini, benar-benar jauh dari apa yang diimpikannya.
Lalu setelah itu, setelah sang Kiai memperkenalkan mereka singkat, Galih dan Saras berjalan untuk duduk di tempatnya masing-masing.
"Weh, ku kira kamu bakal menolak Saras," celetuk Dio— sahabat Galih. Tepat saat Galih mendudukkan diri di samping pemuda itu.
Yang lantas membuat Galih berdecak, "Mana bisa aku menolak? Oh ya, Fatimah dipinang siapa?"
"Siapa lagi? Gus besar kita, Gus Abi."
"Loh katanya beliau tidak mau ikut perjodohan?"
Dio menggeleng, "Tidak tahu aku. Sudahlah sobat, ikhlaskan saja Fatimah. Kalau ku tamatkan tadi, Saras juga cantik."
"Halah, kenapa kamu nggak memilihnya kalau dia cantik?"
"Hehe, Saras cantik. Tapi Azzahra lebih cantik. Mana bisa aku biarkan kamu mendapatkan Azzahraku?"
Dan pada akhirnya, Galih hanya bisa menghela napas panjang. Hatinya cukup kebas— membayangkan pujaan hatinya Fatimah akan menikah dengan orang lain.
Dan itu, juga cukup membuat Galih menyesal.
Sebab ada rencana sebelum sang Kiai menawarinya ikut perjodohan ini, untuk Galih mandiri melamar Fatimah sendiri.
Tapi cinta membuatnya tak berkutik. Galih cukup takut dengan penolakan Fatimah padanya waktu itu.
Yang lantas membawanya pada kegiatan ini. Sebab Galih mendengar jika Fatimah turut hadir di dalamnya.
Lagi dan lagi, untuk yang kesekian kalinya, Galih menghela napas besar.
Dan helaan napas itu semakin berat saat netranya tak sengaja bertemu tatap dengan Saras.
Gadis itu terlihat berpaling, tersenyum salah tingkah akibat ketidak sengajaan barusan.
Kejadian tersebut tak lepas dari pandangan Dio. Sahabat baiknya itu terlihat terbahak tertahan. Dio menepuk kuat bahunya, "Tidak boleh begitu kamu, sama calon istri sendiri."
"Aku kenapa?"
"Haha, lucu sekali kamu, Lih. Kalau tidak mau jangan dipaksa....